Source: psychology.binus.ac.id

Pertama-tama, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Raya Nyepi, Tahun Caka 1936 kepada pembaca dan teman-teman yang merayakan. Semoga bisa merayakan Nyepi dengan khusyuk dan damai.

Maaf kalau belakangan ini isi blog ini kebanyakan curhat melulu. Bisa jadi ini juga salah satu di antaranya. Besok-besok kalau jadwal pekerjaan agak lenggang mungkin akan segera "kembali ke jalan yang benar", yaitu berbagi ide tentang pengajaran dan belajar bahasa Inggris. Mohon doa restu dan dukungannya. Hehehe...

Besok adalah Nyepi dan hari ini kebetulan hari Minggu. Menyenangkan sekali karena di antara kelas-kelas yang saya ajar dan laporan yang harus saya selesaikan, akhirnya ada beberapa hari di mana saya tidak harus melakukan semua itu. Banyak yang mengira saya lahir dan besar di Jawa. Tet-tot! Saya keturunan Jawa yang ter"dampar" dan ter"hempas" di Bali. Walaupun saya tidak merayakannya dengan relijius (karena saya bukan penganut Hindu), tapi sudah berpuluh-puluh kali saya merasakan bagaimana ikut merayakan Nyepi di Bali.

Salah dua lelucon klasik yang dulu sering dilontarkan orangtua ke anak-anak ketika Nyepi tiba adalah omongan semacam, "Ayo pas Nyepi ke kita Waterbom," atau waktu siang hari kita main-main di halaman, orangtua akan tiba-tiba bilang, "Eh, ada suara orang jualan es. Coba panggil, nanti ibu belikan yang banyak!" Bodohnya, karena lupa hari itu Nyepi, kita hampir selalu termakan tipuan-tipuan "murahan" ini. Hahaha... Tentu semua yang disebutkan tadi tidak mungkin dilakukan karena tidak ada pedagang dan tempat-tempat tutup saat Nyepi.

Dulu ketika masih kecil saya tinggal di Sanur. Satu kebiasaan yang sering kami lakukan menjelang Nyepi adalah menutup jendela-jendela rumah dengan koran. Buat apa? Saat Nyepi kami tidak diperbolehkan menyalakan lampu (atau lilin). Tapi ketika malam kami tetap membutuhkan penerangan. Koran bisa menghalau sinar lampu keluar dari rumah. Di Sanur saat itu penjagaan oleh pecalang (petugas keamanan lingkungan) cukup ketat. Cahaya sedikit saja akan membuat pecalang melayangkan teguran. Hal ini berbeda ketika saya tinggal di Batubulan. Agaknya tiap tempat punya kebiasaan yang berbeda?

Pada saat Nyepi, ada empat ritual yang wajib dijalankan, bahkan untuk yang non-penganut Hindu di Bali untuk menghormati jalannya Nyepi.

  • Amati Geni: larangan menyalakan api atau cahaya (lampu), termasuk listrik
  • Amati Karya: larangan untuk bekerja
  • Amati Lelunganan: larangan untuk keluar rumah atau bepergian
  • Amati Lelanguan: berpuasa; larangan untuk menikmati hiburan

Keempat ritual ini adalah inti perayaan Nyepi. Dan ini yang membuat saya sangat menyukainya. Tapi ketika saya kecil, menjelang Nyepi, keluarga kami punya kebiasaan aneh ini. Selayaknya penduduk non-Hindu lainnya yang ada di Bali, kami memadati supermarket, toko, dan tempat perbelanjaan dengan tujuan berbelanja bahan kebutuhan pokok dan makanan secara berlebihan. Tujuannya? Kan Nyepi warung, restoran, toko tidak ada yang buka. Yang mencengangkan adalah jumlah barang-barang belanjaannya biasanya justru melebihi kebutuhan satu hari. Bukannya seperti menyambut Nyepi, ini malah seperti menyambut doomsday alias hari kiamat.

Sekarang saya tidak lagi begitu. Persiapan Nyepi cukup sederhana. Yang penting ada bahan makanan untuk Hari H sudah cukup. Tidak berlebihan. Selain itu ada juga kebiasaan lain yang cukup lucu. Banyak orang akan berbondong-bondong tinggal di hotel atau justru pergi keluar dari Bali ke tempat-tempat tujuan wisata untuk menghabiskan Nyepi mereka. Well, mungkin selain penganut Hindu Bali, hari Nyepi cuma dianggap tanggal merah biasa, maka mereka melihatnya pun seperti itu. Dan agaknya ini jadi berita baik bagi industri. Sementara bagi saya sendiri, Nyepi adalah momen yang tepat untuk beristirahat, tidak melakukan apa-apa (ini sangat jarang terjadi bukan?), merefleksi diri. Apalagi saya introvert. Saya akan dengan senang disuruh tinggal di rumah dan "menyepi".

Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang paling saya tidak sukai ketika Nyepi. Biasanya menjelang atau pada saat hari H adaaaaa saja isu-isu tidak penting yang berpotensi bikin konflik di masyarakat, apalagi kalau bukan masalah SARA. Seperti misal penduduk non-Hindu yang mencemooh perayaan Nyepi lewat sosmed. Indonesia dengan keberagaman budaya dan agama sangat rentan dengan isu-isu yang seperti ini. Dan siapa pun yang menggelontorkannya biasanya dengan sukses mendapatkan respon dari masyarakat. Menurut saya cara ini sudah kuno dan sama sekali tidak intelek. Ada baiknya seberapa pun berangnya kita, tidak usah dihiraukan. Ibarat orang puasa yang senantiasa diterpa cobaan, bisa jadi ini juga cobaan yang harus dihadapi. Dan ketika kita berhasil, itu artinya kita menang. :)

Sekali lagi, selamat Hari Raya Nyepi, teman-teman.